Teori Pengembangan Wilayah
Teori-teori ini menjelaskan bagaimana aktivitas ekonomi dan permukiman tersusun di ruang (spasial) dan bagaimana pembangunan menghasilkan ketidakseimbangan regional.
1. Teori Sewa Tanah (Von Thünen)
Teori ini dikembangkan oleh Johann Heinrich von Thünen, seorang ekonom dan petani dari Jerman pada abad ke-19, untuk menjelaskan pola penggunaan lahan pertanian di sekitar sebuah pusat pasar tunggal.
Inti Teori: Penggunaan lahan ditentukan oleh Sewa Lokasi yang dihasilkan. Sewa lokasi adalah keuntungan bersih yang didapat dari suatu lahan setelah nilai jual hasil dikurangi biaya produksi dan biaya transportasi.
Asumsi Utama:
Terdapat pasar tunggal di pusat (titik penjualan).
Wilayah di sekitarnya adalah dataran homogen (isomorfik) dengan kesuburan dan iklim yang sama.
Semua petani bertujuan memaksimalkan keuntungan.
Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak.
Konsep Kunci: Semakin jauh jarak dari pasar, biaya transportasi akan semakin tinggi, sehingga sewa lokasi menurun.
Sewa Lokasi = Nilai Jual Hasil - Biaya Produksi - Biaya Transportasi
Pola Penggunaan Lahan: Teori ini menghasilkan zona melingkar (konsentris) di sekitar pusat pasar:
Zona Terdalam: Tanaman yang mudah rusak dan bernilai tinggi (misalnya, sayuran segar, susu).
Zona Menengah: Tanaman yang lebih tahan lama atau intensif tenaga kerja (misalnya, padi sawah).
Zona Terluar: Pertanian ekstensif, peternakan, atau hutan.
2. Teori Lokasi Industri (Alfred Weber)
Teori Lokasi Industri, dikembangkan oleh ekonom Jerman Alfred Weber pada tahun 1909, berfokus pada pemilihan lokasi pabrik yang optimal untuk meminimalkan biaya produksi. Teori ini sering dianggap sebagai landasan mikroekonomi untuk memahami aglomerasi industri yang kemudian terkait dengan konsep Kutub Pertumbuhan.
Inti Teori dan Tujuannya
Inti Teori: Lokasi ideal untuk suatu pabrik adalah titik di mana total biaya transportasi dan biaya tenaga kerja mencapai minimum.
Tujuan: Menemukan Titik Biaya Minimum (Least Cost Location).
Konsep Kunci Biaya
Weber mengidentifikasi tiga faktor utama dalam penentuan lokasi, disusun secara hierarkis:
1. Biaya Transportasi (Faktor Dominan)
Ini adalah faktor terpenting. Pabrik akan cenderung mendekat ke salah satu sumber bahan baku atau pasar, tergantung pada Indeks Material (Material Index).
Bahan Baku Murni (Pure Material): Bahan baku yang seluruhnya masuk ke produk akhir (Indeks Material ≈ 1). Pabrik cenderung tidak terikat lokasi dan bisa dekat pasar atau sumber bahan baku.
Bahan Baku Menurunkan Berat (Weight-Losing/Gross Material): Bahan baku yang beratnya berkurang drastis selama proses produksi (Indeks Material > 1). Pabrik cenderung mendekat ke sumber bahan baku untuk menghindari pengangkutan limbah atau sisa bahan yang tidak terpakai (contoh: industri semen, pengolahan kayu).
Bahan Baku Meningkatkan Berat (Weight-Gaining/Ubiquitous Material): Berat produk akhir lebih besar dari bahan baku yang diangkut (Indeks Material < 1). Pabrik cenderung mendekat ke pasar untuk menghemat biaya pengiriman produk jadi (contoh: industri minuman, perakitan mobil).
2. Biaya Tenaga Kerja (Faktor Sekunder)
Jika terdapat dua lokasi dengan biaya transportasi yang sama, pabrik akan memilih lokasi dengan biaya tenaga kerja termurah, asalkan penghematan biaya tenaga kerja dapat menutupi kenaikan kecil pada biaya transportasi.
3. Biaya Aglomerasi (Aglomeration Economies)
Jika penghematan akibat lokasi yang berdekatan dengan industri lain (efek aglomerasi, misalnya berbagi infrastruktur atau layanan) lebih besar daripada kenaikan biaya transportasi dan tenaga kerja, pabrik dapat memilih lokasi tersebut.
🔺 Model Segitiga Lokasi (Locational Triangle)
Weber menggunakan model segitiga untuk menentukan lokasi optimal. Tiga sudut segitiga mewakili:
M1: Sumber Bahan Baku 1
M2: Sumber Bahan Baku 2
P: Pasar (Titik Konsumsi)
Lokasi pabrik akan berada di suatu titik di dalam segitiga tersebut, di mana total jarak yang dikalikan dengan berat yang diangkut menghasilkan biaya transportasi minimum.
3. Teori Tempat Sentral (Christaller)
Teori ini dikembangkan oleh Walter Christaller, seorang ahli geografi Jerman, pada tahun 1933 untuk menjelaskan pola dan hierarki permukiman (kota, desa) di suatu wilayah.
Inti Teori: Permukiman berfungsi sebagai Pusat Pelayanan (Tempat Sentral) yang menyediakan barang dan jasa bagi wilayah sekitarnya. Pola permukiman terbentuk untuk melayani populasi secara paling efisien.
Konsep Kunci: Pembentukan tempat sentral didasarkan pada dua konsep:
Ambang Batas (Threshold): Jumlah minimum populasi atau permintaan yang dibutuhkan agar suatu layanan (toko, sekolah, rumah sakit) dapat beroperasi secara menguntungkan.
Jangkauan (Range): Jarak maksimum yang bersedia ditempuh konsumen untuk mendapatkan barang atau jasa tertentu.
Hierarki dan Pola: Tempat sentral disusun dalam hierarki (mulai dari kota besar hingga desa kecil) dengan pola geometris heksagonal (sarang lebah) yang dianggap paling efisien karena meminimalkan tumpang tindih dan wilayah yang tidak terlayani.
Prinsip K: Christaller mengidentifikasi beberapa prinsip organisasi, yang paling umum adalah:
Prinsip Pasar (K=3): Menekankan cakupan layanan yang efisien.
4. Teori Kutub Pertumbuhan (Perroux)
Teori ini diperkenalkan oleh ekonom Prancis François Perroux pada tahun 1955, yang awalnya tidak merujuk pada lokasi geografis, melainkan pada ruang ekonomi abstrak. Namun, kemudian diterapkan dalam konteks geografis oleh para perencana wilayah.
Inti Teori: Pembangunan ekonomi tidak terjadi secara merata, tetapi terkonsentrasi di titik-titik inovasi yang dinamis, yang disebut Kutub Pertumbuhan (Pôle de Croissance).
Kutub Pertumbuhan: Biasanya terdiri dari Industri Unggulan (Firmes Motrices) yang memiliki keterkaitan kuat (ke depan dan ke belakang) dengan industri lain.
Mekanisme Pertumbuhan: Pertumbuhan menyebar dari kutub melalui efek multiplier dan dua jenis dampak ke wilayah sekitarnya:
Efek Penyebaran (Spread Effect): Dampak positif yang menyebar ke wilayah pinggiran melalui investasi baru, peningkatan permintaan, dan transfer teknologi, yang pada akhirnya mengurangi kesenjangan.
Efek Hisap (Backwash Effect): Dampak negatif di mana kutub pertumbuhan menyedot sumber daya (modal, tenaga kerja terampil) dari wilayah pinggiran, sehingga memperburuk ketidakseimbangan awal.
Implikasi: Kebijakan pembangunan wilayah sering diarahkan untuk menciptakan dan memperkuat kutub pertumbuhan (misalnya, kawasan industri, sentra teknologi) dengan harapan Spread Effect lebih dominan daripada Backwash Effect.
5. Teori Ketidakseimbangan (Myrdal & Hirschman)
Teori ini (sering dikaitkan dengan Gunnar Myrdal dan Albert O. Hirschman) secara eksplisit mengakui dan menganalisis mengapa pertumbuhan ekonomi sering kali menghasilkan kesenjangan regional yang semakin lebar.
Inti Teori (Myrdal): Myrdal memperkenalkan konsep Akumulasi Kausalitas Melingkar (Cumulative Causation). Artinya, keunggulan awal di suatu wilayah (misalnya, modal, infrastruktur yang lebih baik) akan terus mengakumulasi keunggulan di masa depan, menciptakan lingkaran setan pertumbuhan di pusat dan lingkaran setan kemiskinan di pinggiran.
Konsep Kunci (Hirschman):
Ketidakseimbangan adalah Alami: Hirschman berpendapat bahwa pembangunan harus dilakukan secara tidak seimbang (mengambil keputusan investasi yang fokus di satu pusat) untuk memicu pertumbuhan.
Dampak yang Berlawanan: Proses pembangunan menghasilkan dua dampak yang saling berlawanan:
Efek Kembali (Backwash Effect): Mirip dengan efek hisap, ini adalah dampak negatif yang memperburuk kondisi pinggiran (misalnya, migrasi SDM, aliran modal keluar).
Efek Tetesan ke Bawah (Trickle-down Effect): Mirip dengan Spread Effect, ini adalah dampak positif berupa peningkatan permintaan atau transfer keuntungan yang menguntungkan wilayah pinggiran.
Tujuan: Pembangunan wilayah harus berupaya keras untuk memastikan Efek Tetesan ke Bawah/Penyebaran mengalahkan Efek Kembali/Hisap melalui intervensi dan kebijakan pemerataan.