Dwi Rahmanto
Dwi Rahmanto Every Sphere has a Story

OBJEK STUDI GEOGRAFI

 Objek studi geografi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.


1. Objek Material

Objek material geografi adalah segala sesuatu yang menjadi materi atau substansi yang dipelajari dalam geografi. Objek material geografi mencakup seluruh fenomena yang terdapat dan terjadi di geosfer, yaitu: atmosfer (lapisan udara), litosfer (lapisan batuan dan tanah), hidrosfer (perairan), biosfer (tumbuhan dan hewan), dan antroposfer (manusia). 

Secara lebih rinci, objek material geografi meliputi:

  • Atmosfer:

Lapisan udara yang menyelubungi bumi, termasuk cuaca, iklim, dan fenomena atmosfer lainnya.

  • Litosfer:

Lapisan batuan dan tanah yang membentuk kulit bumi, termasuk bentuk lahan, gunung api, dan proses geologi lainnya. 

  • Hidrosfer:

Lapisan air di permukaan bumi, seperti sungai, danau, laut, dan air tanah. 

  • Biosfer:

Lapisan kehidupan di bumi, termasuk flora (tumbuhan) dan fauna (hewan), serta interaksi antar organisme dan lingkungannya. 

  • Antroposfer:

Lapisan manusia dan aktivitasnya di permukaan bumi, termasuk pemukiman, pertanian, industri, dan interaksi manusia dengan lingkungan

2. Objek Formal

Objek formal geografi adalah cara pandang atau metode analisis khas yang digunakan untuk mengkaji objek material geografi (fenomena geosfer di permukaan bumi). Objek formal ini pada dasarnya adalah pendekatan geografi itu sendiri, yang dapat diuraikan secara sistematis menggunakan kerangka pertanyaan 5W+1H.

Objek formal geografi memiliki tiga pendekatan utama, yang berfungsi sebagai lensa untuk memahami di mana, mengapa, dan bagaimana suatu fenomena terjadi di permukaan bumi.

1. Pendekatan Keruangan (Spasial)

Pendekatan keruangan menekankan pada lokasi, sebaran, dan pola fenomena geosfer. Pendekatan ini secara langsung menjawab pertanyaan fundamental geografi mengenai lokasi.

Unsur 5W + 1 H :

Where (Dimana?)

What (Apa?)

2. Pendekatan Kelingkungan (Ekologi)

Pendekatan ekologi fokus pada interaksi antara unsur fisik (alam) dan biotik (makhluk hidup, termasuk manusia) dalam suatu lingkungan atau ekosistem. Ini adalah alat utama untuk menganalisis hubungan sebab-akibat.

Unsur 5W + 1 H :

Why (Mengapa fenomena itu terjadi?)

How (Bagaimana Prosesnya?)

3. Pendekatan Kewilayahan (Kompleks Wilayah)

Pendekatan kewilayahan mengintegrasikan analisis keruangan dan ekologi. Pendekatan ini mengkaji suatu wilayah secara komprehensif dengan mempertimbangkan karakteristik uniknya (diferensiasi area) dan interaksi antar wilayah.

Unsur 5W + 1 H :

Who (Siapa?)

When (Kapan?)

How (Bagimana Solusi Terpadunya?)

Perhatikan Teks Berikut

Teks 1

Jakarta dan Ancaman Banjir Tahunan: Perspektif Geografis

Banjir adalah masalah klasik yang menghantui Jakarta setiap tahun, terutama saat musim hujan mencapai puncaknya. Fenomena ini bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara faktor geografis, ekologis, dan aktivitas manusia yang berlangsung puluhan tahun.

Secara geografis, Jakarta berada di lokasi yang rentan. Kota ini merupakan dataran rendah aluvial yang dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, menjadikannya area hilir atau "tempat penampungan" alami bagi air hujan yang turun di wilayah hulu (Puncak dan Bogor). Beberapa wilayah di Jakarta Utara bahkan berada di bawah permukaan air laut, memperparah ancaman banjir rob (banjir akibat air pasang laut) yang semakin sering terjadi.

Faktor manusia memegang peran signifikan dalam memperparah kondisi ini. Alih fungsi lahan di hulu yang masif mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, menyebabkan volume air yang mengalir ke Jakarta meningkat drastis dan cepat. Di dalam kota sendiri, pembangunan infrastruktur yang pesat dan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) menyebabkan air sulit meresap ke dalam tanah (infiltrasi). Ditambah lagi, kebiasaan membuang sampah sembarangan menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran air dan sungai.

Menurunnya muka tanah (land subsidence) akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan juga menjadi penyebab krusial, membuat daratan Jakarta semakin rendah dari permukaan laut.

Dengan demikian, banjir Jakarta adalah masalah kewilayahan yang kompleks. Solusinya tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri, tetapi memerlukan koordinasi dan manajemen tata air terpadu lintas daerah (Jawa Barat, Banten, dan Pemerintah Pusat) melalui program seperti normalisasi sungai, pembangunan waduk retensi, dan penegakan hukum tata ruang yang ketat untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang rusak.

Analisis Pendekatan Geografi dengan Kerangka 5W+1H

1. Pendekatan Keruangan (Spasial)

Pendekatan ini menjawab WHERE? (di mana?) dan WHAT? (apa yang terjadi?). 

Analisis spasial menunjukkan bahwa Jakarta adalah dataran rendah aluvial yang berfungsi sebagai muara bagi 13 sungai. Banjir terjadi di lokasi-lokasi spesifik, terutama di bantaran sungai dan area cekungan. Pola genangannya cenderung linier, mengikuti alur sungai, dengan distribusi yang tidak merata, terkonsentrasi di area dengan elevasi terendah seperti Kampung Melayu (Jakarta Timur) dan area dengan penurunan tanah di Jakarta Utara.

2. Pendekatan Kelingkungan (Ekologi)

Pendekatan ekologi membantu kita menjawab WHY? (mengapa terjadi?) dan HOW? (bagaimana prosesnya?). 

Banjir terjadi karena adanya interaksi negatif antara manusia dan lingkungan. Mengapa? Karena curah hujan tinggi yang merupakan faktor alamiah diperparah oleh aktivitas manusia, seperti alih fungsi lahan di daerah hulu (Bogor/Puncak) dan pembuangan sampah ke sungai di Jakarta. Bagaimana prosesnya? Hilangnya resapan air dan tersumbatnya drainase menyebabkan air hujan tidak dapat mengalir dengan lancar ke laut.

3. Pendekatan Kewilayahan (Regional)

Pendekatan kewilayahan mengintegrasikan analisis spasial dan ekologis untuk melihat solusi terpadu dan peran berbagai pihak. Ini menjawab WHO? (siapa yang terlibat?), WHEN? (kapan terjadinya?), dan HOW? (bagaimana solusinya?). 

Fenomena ini melibatkan banyak pihak (warga, pemerintah daerah, pemerintah pusat) dan terjadi terutama saat musim hujan tiba. Solusinya tidak bisa parsial; diperlukan manajemen tata air terpadu yang melibatkan kerja sama lintas provinsi (Jakarta, Jawa Barat, Banten) untuk mengatasi perbedaan fungsi wilayah hulu dan hilir melalui pembangunan waduk dan program normalisasi sungai.

Teks 2

Bertani di Puncak Jawa: Kehidupan dan Tantangan Lingkungan di Dataran Tinggi Dieng

Aktivitas pertanian di Dataran Tinggi Dieng merupakan potret kehidupan ekonomi masyarakat lokal yang sangat bergantung pada kekayaan alam vulkanis wilayah tersebut. Terletak di ketinggian rata-rata 2.000 meter di atas permukaan laut, Dieng menawarkan iklim sejuk dan tanah yang subur, menjadikannya lokasi ideal untuk budidaya tanaman hortikultura.

Tanaman utama yang mendominasi lanskap Dieng adalah kentang. Selain itu, wortel, kubis, dan bawang daun juga menjadi komoditas penting yang ditanam di lahan-lahan miring perbukitan. Pola tanam di sini sangat khas, di mana para petani memanfaatkan setiap jengkal lahan dengan sistem terasering atau petak-petak kecil yang terlihat seperti mozaik hijau bila dilihat dari ketinggian.

Aktivitas pertanian di Dieng berlangsung intensif sepanjang tahun, namun juga membawa tantangan tersendiri. Ketergantungan yang tinggi pada tanaman kentang, yang membutuhkan lahan terbuka, seringkali memicu alih fungsi lahan hutan di lereng-lereng curam. Hal ini, ditambah dengan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, menimbulkan masalah lingkungan seperti erosi, tanah longsor saat musim hujan, dan pencemaran air di sekitar kompleks kawah dan telaga (danau vulkanik).

Bagi masyarakat Dieng, pertanian bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga bagian dari budaya dan tradisi yang telah berlangsung turun-temurun, meskipun kini mereka harus beradaptasi dengan tantangan modern terkait keberlanjutan lingkungan dan perubahan iklim.

Analisis Pendekatan Geografi dengan Kerangka 5W+1H

1. Pendekatan Keruangan (Spasial)

Pendekatan ini fokus pada WHERE? (di mana?) dan WHAT? (apa yang terjadi?). 

Analisis spasial menunjukkan bahwa aktivitas utama adalah budidaya tanaman hortikultura, terutama kentang. Secara spasial, kejadian ini terlokalisasi di Dataran Tinggi Dieng, pada ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Pola penggunaan lahannya sangat khas, yaitu pola terasering yang tidak beraturan mengikuti kontur lereng gunung yang curam, dengan distribusi yang padat di lahan-lahan miring perbukitan.

2. Pendekatan Kelingkungan (Ekologi)

Pendekatan ekologi membantu kita memahami WHY? (mengapa terjadi?) dan HOW? (bagaimana prosesnya?). 

Aktivitas pertanian intensif terjadi karena adanya interaksi positif sekaligus negatif antara manusia dan lingkungan. Mengapa? Karena kondisi tanah vulkanik Dieng sangat subur dan iklim sejuk sangat cocok untuk tanaman kentang, sehingga petani membuka lahan di sana. Bagaimana prosesnya? Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan pembukaan lahan di lereng curam menyebabkan erosi, tanah longsor, dan pencemaran air di sekitar telaga saat hujan turun.

3. Pendekatan Kewilayahan (Regional)

Pendekatan kewilayahan mengintegrasikan analisis spasial dan ekologis untuk melihat solusi terpadu dan peran berbagai pihak. Ini menjawab WHO? (siapa yang terlibat?), WHEN? (kapan terjadinya?), dan HOW? (bagaimana solusinya?). 

Fenomena ini melibatkan petani lokal, pemerintah daerah (Banjarnegara dan Wonosobo), serta konsumen. Aktivitas berlangsung sepanjang tahun, tetapi risiko longsor meningkat saat musim hujan. Solusinya tidak bisa parsial; diperlukan manajemen lahan terpadu yang melibatkan kedua kabupaten tersebut untuk menerapkan teknik konservasi tanah yang lebih baik dan mengembalikan fungsi hutan di area kritis.

Teks 3

Ancaman Tanah Longsor di Cilacap: Ketika Lereng Curam dan Curah Hujan Bertemu

Bencana tanah longsor merupakan ancaman serius yang sering menghantam wilayah Kabupaten Cilacap, terutama daerah-daerah yang memiliki topografi berbukit dan curam di bagian utara dan timur, seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Wanareja, dan Majenang. Fenomena ini hampir menjadi agenda tahunan, terutama saat curah hujan meningkat drastis pada puncak musim penghujan.

Cilacap memiliki karakteristik geologis berupa batuan lapuk dan tanah lempung yang tebal, yang sangat rentan longsor apabila jenuh air. Kondisi alamiah ini diperparah oleh aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan di area miring untuk permukiman atau perkebunan tanpa menerapkan kaidah konservasi tanah yang tepat, seperti terasering atau penanaman pohon yang kuat akarnya. Akibatnya, saat hujan deras mengguyur, air tidak terserap maksimal oleh tanah, melainkan berkumpul dan meningkatkan tekanan pori-pori tanah hingga menyebabkan struktur tanah runtuh.

Dampak dari tanah longsor di Cilacap sangat signifikan, meliputi kerugian material seperti kerusakan rumah warga, infrastruktur jalan yang terputus, dan lahan pertanian yang tertimbun. Yang lebih parah, bencana ini sering kali menimbulkan korban jiwa. Oleh karena itu, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat setempat menjadi sangat penting, termasuk pemantauan dini kondisi lereng, relokasi warga dari zona merah, dan reforestasi di area kritis untuk meminimalisasi risiko bencana di masa mendatang.

Analisis Pendekatan Geografi dengan Kerangka 5W+1H

1. Pendekatan Keruangan (Spasial)
Pendekatan ini fokus pada WHERE? (di mana?) dan WHAT? (apa yang terjadi?). 

Analisis spasial menunjukkan bahwa apa yang terjadi adalah fenomena pergerakan massa tanah atau tanah longsor. Di mana lokasinya? Di wilayah Kabupaten Cilacap bagian utara dan timur yang berbukit dan memiliki topografi curam (misalnya Kecamatan Dayeuhluhur, Wanareja). Pola kejadiannya bersifat lokal dan sporadis, terkonsentrasi di lereng-lereng curam yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian atau permukiman.

2. Pendekatan Kelingkungan (Ekologi)
Pendekatan ekologi membantu kita memahami WHY? (mengapa terjadi?) dan HOW? (bagaimana prosesnya?). 

Tanah longsor terjadi karena adanya interaksi negatif antara manusia dan lingkungan. Mengapa? Karena kondisi geologis tanah lempung yang tebal dan mudah lapuk diperparah oleh aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan di area miring tanpa terasering. Bagaimana prosesnya? Saat hujan deras turun (When), air meresap ke dalam tanah dengan cepat (How proses fisika tanah), meningkatkan tekanan air pori, yang akhirnya membuat struktur tanah runtuh karena beban yang tidak kuat menahan.

3. Pendekatan Kewilayahan (Regional)
Pendekatan kewilayahan mengintegrasikan analisis spasial dan ekologis untuk melihat solusi terpadu dan peran berbagai pihak. Ini menjawab WHO? (siapa yang terlibat?), WHEN? (kapan terjadinya?), dan HOW? (bagaimana solusinya?). 

Fenomena ini melibatkan warga lokal sebagai korban dan pelaku alih fungsi lahan, serta pemerintah daerah Cilacap. Kejadian ini sering berulang saat puncak musim hujan tiba. Bagaimana solusinya? Diperlukan manajemen risiko terpadu yang melibatkan pemetaan zona merah, relokasi warga, dan reforestasi di area kritis secara lintas wilayah administratif di Cilacap.

Dwi Rahmanto
Dwi Rahmanto  Every Sphere has a Story

Komentar