Pengembangan wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di suatu area geografis tertentu.Terdapat beberapa prinsip penting seperti keadilan, kesetaraan, dan keberlanjutan, yang menjadi landasan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu teori pengembangan wilayah yang relevan adalah teori agropolitan, yang menekankan penggabungan antara sektor pertanian dan industri untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, dan meminimalkan disparitas antara wilayah pedesaan dan perkotaan.
Teori Pengembangan Wilayah
Teori-teori dalam pengembangan wilayah berfokus pada tiga pilar utama, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar ini merupakan elemen esensial yang mendukung pencapaian pengembangan wilayah yang optimal, dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan alam. Tiga teori pengembangan wilayah yang perlu dipahami meliputi teori kutub pertumbuhan, teori lokasi, dan teori agropolitan. Berikut adalah uraian singkat tentang ketiga teori tersebut.
2. Teori Lokasi
Teori lokasi merupakan salah satu dasar penting dalam merencanakan pembangunan berbasis wilayah. Prinsip-prinsip dasar dalam teori ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan lokasi kegiatan ekonomi sehingga wilayah tersebut dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang optimal. Beberapa teori fundamental yang berkembang dalam teori lokasi meliputi teori klasik (teori sewa tanah), teori lokasi optimum, dan teori lokasi sentral.
A. Teori Klasik (Teori Sewa Tanah)
Konsep teori ini pertama kali diperkenalkan oleh J.H. von Thunen pada tahun 1982. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa nilai sewa lahan pertanian ditentukan oleh jaraknya dari pusat kota atau pasar. Von Thunen berpendapat bahwa semakin jauh lahan pertanian dari pusat kota, semakin rendah nilai sewanya.
Asumsi ini didasarkan pada perbedaan manfaat biaya transportasi dari lokasi lahan yang berdekatan atau jauh dari pusat kota. Semakin besar jarak lahan pertanian dari pusat kota, semakin tinggi biaya transportasinya, dan sebagai akibatnya, harga jual produk pertanian akan lebih tinggi. Sebaliknya, jika lahan pertanian berdekatan dengan pusat kota, biaya transportasi akan lebih rendah, dan harga jual produk akan lebih terjangkau.
Gagasan dalam teori sewa tanah ini mencakup:
- Lahan pertanian yang jauh dari pusat kota memaksa petani untuk menjual hasil panennya dengan jarak yang cukup jauh.
- Nilai sewa lahan pertanian bervariasi berdasarkan jaraknya dari pusat kota.
- Produsen tersebar di wilayah luas, sementara konsumen berkumpul di pusat kota atau pasar.
Ketiga konsep ini penting dalam perencanaan wilayah, terutama dalam menentukan lokasi kegiatan ekonomi. Untuk memahami teori lokasi klasik lebih baik, mari kita lihat ilustrasinya.
B. Teori Lokasi Optimum
Alfred Weber memperkenalkan teori lokasi optimum pada tahun 1909. Teori ini berfokus pada prinsip biaya minimum dalam menentukan lokasi industri yang menguntungkan. Weber menyatakan bahwa lokasi industri yang optimal adalah di wilayah dengan biaya transportasi dan tenaga kerja paling rendah. Faktor-faktor kunci dalam teori ini adalah transportasi, upah tenaga kerja, dan aglomerasi industri.
Teori ini memberikan kebebasan bagi pelaku industri untuk menentukan lokasi optimal mereka. Namun, Weber mengembangkan tiga skema analisis berdasarkan dua faktor utama: indeks material dan berat lokasional. Indeks material mengukur perbandingan berat bahan baku dan produk akhir yang akan dipasarkan. Berat lokasional mencakup berat total yang harus diangkut dari tempat produksi, termasuk bahan baku, bahan bakar, hingga produk akhir.
Gambar A: Jika produk akhir lebih berat daripada bahan baku awal, lokasi optimum cenderung dekat dengan pasar.
Gambar B: Jika produk akhir lebih ringan daripada bahan baku awal, lokasi industri cenderung dekat dengan bahan baku.
Gambar C: Jika perbandingan berat produk awal dan akhir tidak berubah signifikan, lokasi optimum berada di antara bahan baku dan pasar.
Selain meminimalkan biaya, penentuan lokasi industri berdasarkan skema ini juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi distribusi dan mengurangi ketidaknyamanan dalam pengangkutan material yang berat.
C. Teori Lokasi Sentral
Teori ini dikembangkan oleh Walter Christaller pada tahun 1933 dan membahas model hierarki perkotaan dalam sistem geometri berbentuk heksagonal. Teori ini membantu menentukan lokasi ideal untuk pusat-pusat pelayanan berdasarkan tingkat wilayahnya.
Dalam teori ini, ada dua variabel kunci yang mempengaruhi penentuan lokasi pusat pelayanan, yaitu threshold (nilai minimum yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas produksi) dan range (jarak maksimum yang harus ditempuh oleh penduduk untuk mendapatkan barang/jasa di lokasi sentral). Lokasi sentral terbentuk melalui interaksi antarwilayah perdagangan yang digambarkan dalam lingkaran yang tumpang tindih dan menciptakan bidang heksagonal yang lebih luas.
Teori lokasi sentral menjelaskan pola geografis dan struktur hierarki pusat kota yang saling terkait dalam sistem fungsional. Beberapa asumsi dasar dalam teori ini meliputi topografi wilayah yang datar, mobilitas dalam semua arah, penyebaran penduduk dan daya beli yang merata, serta preferensi pembeli terhadap jarak minimum.