Pendekatan Geografi adalah metode, cara pandang atau analisis untuk memahami berbagai gejala dan fenomena geosfer, khususnya interaksi manusia dengan lingkungannya. Setiap disiplin ilmu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu kejadian yang sama dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pendekatan Geografi dibedakan menjadi Pendekatan Keruangan (Spasial), Pendekatan Kelingkungan (Ekologi) dan Pendekatan Kewilayahan (Regional)
Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai ketiga pendekatan tersebut:
1. Pendekatan Keruangan (Spasial):
Menganalisis fenomena berdasarkan lokasi, distribusi dan pola spasialnya.
2. Pendekatan Kelingkungan (Ekologi):
Menganalisis interaksi timbal balik antara manusia dengan lingkungannya.
3. Pendekatan Kewilayahan (Regional):
Merupakan perpaduan antara pendekatan keruangan dan ekologi untuk menganalisis suatu wilayah secara menyeluruh.
Perhatikan Teks Berikut
Jakarta dan Ancaman Banjir Tahunan: Perspektif Geografis
Banjir adalah masalah klasik yang menghantui Jakarta setiap tahun, terutama saat musim hujan mencapai puncaknya. Fenomena ini bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara faktor geografis, ekologis, dan aktivitas manusia yang berlangsung puluhan tahun.
Secara geografis, Jakarta berada di lokasi yang rentan. Kota ini merupakan dataran rendah aluvial yang dialiri oleh 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, menjadikannya area hilir atau "tempat penampungan" alami bagi air hujan yang turun di wilayah hulu (Puncak dan Bogor). Beberapa wilayah di Jakarta Utara bahkan berada di bawah permukaan air laut, memperparah ancaman banjir rob (banjir akibat air pasang laut) yang semakin sering terjadi.
Faktor manusia memegang peran signifikan dalam memperparah kondisi ini. Alih fungsi lahan di hulu yang masif mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, menyebabkan volume air yang mengalir ke Jakarta meningkat drastis dan cepat. Di dalam kota sendiri, pembangunan infrastruktur yang pesat dan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) menyebabkan air sulit meresap ke dalam tanah (infiltrasi). Ditambah lagi, kebiasaan membuang sampah sembarangan menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran air dan sungai.
Menurunnya muka tanah (land subsidence) akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan juga menjadi penyebab krusial, membuat daratan Jakarta semakin rendah dari permukaan laut.
Dengan demikian, banjir Jakarta adalah masalah kewilayahan yang kompleks. Solusinya tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri, tetapi memerlukan koordinasi dan manajemen tata air terpadu lintas daerah (Jawa Barat, Banten, dan Pemerintah Pusat) melalui program seperti normalisasi sungai, pembangunan waduk retensi, dan penegakan hukum tata ruang yang ketat untuk mengembalikan fungsi lingkungan yang rusak.
Analisis dengan Pendekatan Geografi
1. Pendekatan Keruangan
Jakarta terletak pada posisi yang sangat rentan: sebagai dataran rendah aluvial yang dialiri oleh 13 sungai, kota ini secara geografis berfungsi sebagai wilayah hilir atau "tempat penampungan" alami dari limpasan air hulu (Puncak dan Bogor), diperparah lagi dengan fakta bahwa beberapa area di utara berada di bawah permukaan laut, menjadikannya rawan banjir kiriman sekaligus banjir rob.
2. Pendekatan Kelingkungan (Ekologi)
Di hulu, alih fungsi lahan yang masif mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air, menyebabkan peningkatan volume air yang drastis mengalir ke hilir. Di dalam kota, pembangunan infrastruktur yang pesat dan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) telah merusak fungsi infiltrasi air alami, sementara kebiasaan membuang sampah memperburuk sistem hidrologi dengan mendangkalkan sungai. Semua faktor ini diperkuat oleh eksploitasi air tanah yang memicu penurunan muka tanah (land subsidence), semakin memperburuk posisi Jakarta relatif terhadap permukaan laut.
3. Pendekatan Kewilayahan (Regional)
Oleh karena itu, banjir Jakarta adalah masalah kompleks kewilayahan (regional); solusi tidak bisa hanya bersifat lokal (DKI Jakarta) tetapi harus melibatkan koordinasi dan manajemen terpadu lintas batas administrasi (Jawa Barat, Banten, dan Pemerintah Pusat) untuk memulihkan keseimbangan ekologis dan fungsi tata ruang seluruh daerah aliran sungai.